I’m not strong enough

“I’m not strong enough”

Menjadi pengurus aktif di sebuah pelayanan kerohanian selama 3 tahun semasa berkuliah ternyata tidak menjamin kadar tangguhku menghadapi masalah. Bukan hanya itu, banyak juga buku rohani yang kubaca dan banyak doktrin Kristen yang kupahami. Jika aku disuruh berdiskusi mengenai perbedaan agama atau doktrin Kristen pun mungkin aku masih bisa melakukannya! Dilanjutkan dengan bekerja di sebuah yayasan Kristen tidak menjamin aku tangguh.

Ya, semuanya itu tidak menjamin jika aku sendiri tidak punya hubungan pribadi yang erat dengan Tuhan dalam doa dan devosi.

 

Hari itu, adalah hari ke-5 setelah aku mendengar kabar yang tidak mengenakan itu. Akal sehat dan teori yang berputar di otakku mengatakan aku bisa melewati semuanya. Namun, sayangnya, sore itu aku terlalu berharap kepada manusia. Aku menggantungkan harapan dan pertolongan pada manusia.

 

Kecewa!

Ya, mungkin itu kalimat yang bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Aku kecewa pada manusia. Hal ini bukan yang pertama kali. Namun, bodohnya diriku, ketika aku mendapati diriku berputar dalam kisah yang sama “bergantung kepada manusia”.

 

Fisikku tidak sekuat itu menerima kenyataan ketika aku dikecewakan. Fisik yang lemah, membuat aku terdiam dan kaku. Tangan kakiku dingin, kaku dan tak bisa merasakan apa-apa. Aku sulit bernafas, sesak, seperti dadaku sedang dicekik! Singkatnya, aku dibawa ke rumah sakit terdekat dari kantor. Hari itu, dipikiranku hanya ingin bertemu dengan mamaku. Mama yang sudah tiada dan sedang memandangku sekarang dari atas sana.

 

Suasana UGD membuatku ketakutan dan menangis. Bukan karena aku takut jarum suntik dan dokter. Bukan. Aku takut dan kecewa pada diriku sendiri. “Hari ke-5 di umur 24 tahun ini, belum cukup dewasakah aku?”, tanyaku dalam diam. Aku kecewa pada diriku yang tidak mengandalkan Tuhan. “Bodoh Agnes. Bodoh! Kau seperti orang tak ber-Tuhan”. Aku terus menyalahkan diriku sendiri. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya, memukul diriku sendiri, kecewa pada diriku yang terlalu manja dan egois.

Aku tak berdaya!

Malam itu, aku pun harus dirawat inap di rumah sakit.

 

Merasa bersalah.

Ya, aku merasa bersalah karena telah merepotkan banyak orang dengan sifat manja dan egoisku. Aku terjebak dalam masalah. Aku berusaha tegar. Selama di rumah sakit, aku hanya diam, buka sosial media dan merenung. Sesekali kutemukan diriku sedang menangis. Mungkin itu yang kubutuhkan, menangislah pada Tuhan.

 

Malam itu, aku kembali melukis senyum di wajahku, setelah sedari sore wajahku pucat tak berdaya. “Tak ada yang bisa menolong kamu, Agnes. Hanya Tuhan yang bisa”. Kejadian itu tidak mengubah fakta yang tidak kusukai. Kejadian itu tidak mengubah apa-apa. Bahkan mereka yang aku pikirkan sekarang pun, tidak memikirkan keadaanku saat itu! Kecewa? Ya! Tapi untuk apa?

 

Jarum infus yang terikat di tangan kiriku hampir 24 jam hanya membuatku menangis. Bukan karena sakit, tapi karena malu. Aku malu karena diriku yang tidak bisa dewasa. Aku terlalu manja, hidupku terlalu nyaman. Hal ini hal yang sepele, tapi aku membuatnya menjadi hal yang begitu rumit hingga jatuh sakit.

 

Aku bersalah pada kejadian ini. Aku menyadari itu. Tapi aku tak bisa terus-terusan menyalahkan diriku. Life must go on, right?
Semua kejadian ini mengajarkanku untuk lebih tangguh menghadapi setiap masalahku. Tangguh bukan karena kekuatan dan kehebatanku, melainkan bersandar dan berserah penuh kepada Tuhan. Aku tidak bisa melewatinya sendiri, sekeras apapun aku mencoba, aku tak akan bisa. Berharap kepada manusia hanya meninggalkan kekecewaan. Pengharapan sempurna itu akan kutemukan di dalam Kristus. Dia yang memberikanku kekuatan.

Bagaimana bisa aku menemukan pengharapan itu? Dengan berpegang pada firman Tuhan, melekat pada Sang Pokok Anggur, hidup dalam firman-Nya dan menjalin komunikasi yang intens melalui doa.

 

Kejadian-kejadian ini seumpama aku sedang bermain game. Tiap game pasti punya level, dan setiap kenaikan level pasti mempunyai kesulitan yang terus bertambah.

Aku tahu, akhir dari cerita ini, aku akan menemukan diriku, Agnes, yang tangguh dan lebih strong. Di kala badai hidup datang kembali, aku akan bisa menghadapinya.

Hal ini seperti ujian bagi diriku, dan aku bisa melewatinya jika aku belajar dan taat pada Sang Pemberi ujian tersebut.

 

Terakhir, ada sebuah lagu yang sangat memberkatiku. Sebuah lagu terbaru dari album “Made alive” by JPCC Worship.

 

Bapa, Engkau mengenalku

Lebih dari siapapun

Engkau tahu, ceritaku

Dan isi hatiku

 

Tak peduli masa lalu

Engkau tetap memilihku

Ubahkanku, sempurnakan

Jadi karya yang indah

 

Kini aku percaya

Tiada yang mustahil bagi-Mu

Kuasa-Mu, kuatkanku

Dasar kuberharap

 

Karena hanya Tuhanlah yang mengenal kita lebih dari siapa pun. Dia tahu isi hatiku, ceritaku, masa laluku dan bahkan masa depanku. Tiada yang mustahil bagi Dia. Dialah dasar pengharapan kita.

 

Kiranya ini menguatkanku untuk terus menjalani hidup ini. “Ini yang terakhir”, janjiku pada diriku sendiri.

 

 

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s