Bagaimana perasaanmu ketika di hari ulang tahunmu, Tuhan malah memberimu hadiah sebuah awan gelap?
Bagaimana jika sebuah telepon mengubah hari bahagiamu menjadi hari yang penuh air mata?
Sejujurnya, sejak awal tahun, aku telah dihantui ketakutan. Hari ulang tahun adalah hari yang paling spesial bagiku. Dan tahun 2018, hari itu tepat jatuh di hari Sabtu. Karena aku merantau, dan kantorku libur pada hari Sabtu, aku takut jika hari itu akan menjadi hari di mana “aku diam di kos saja”.
Alhasil, aku membeli tiket kereta dan melarikan diri sejenak di Semarang, bersama seorang temanku dari Solo.
Waktu berlalu, dan hari ulang tahunku semain dekat. Tak ada persiapan khusus untuk pergi ke Semarang. Aku mulai packing baju-bajuku bahkan di Jumat pagi hari sebelum aku ke kantor. Sepulang kantor, aku melanjutkan perjalananku ke Stasiun Senen untuk bertolak ke Semarang menggunakan Kereta Api Tawang Jaya.
Tak ada yang spesial malam itu. Tidak ada surprise party jam 12 malam. Hari itu, aku hanya menatap keluar jendela kereta api dalam gelap dan bersyukur. Email masuk dari ODB yang mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan renungan singkat.
Singkat cerita, di pagi hari, HP-ku berdering. Papaku menelponku dan mengucapkan selama ulang tahun. Dia bercerita kalau di rumah, tanteku sedang membuatkan kue ulang tahun. Aku senang dan sekaligus excited mendengarnya, walau aku tidak ada di sana.
Kereta Api Tawang Jawa Pasar Senen – Semarang Poncol sudah hampir tiba di Poncol. Dan teleponku berdering lagi. Kali ini, dari nomor yang tidak kukenal. Diujung telepon terdengar suara wanita. Dia mengucapkan selamat ulang tahun untukku. Dan aku bertanya, siapakah orang ini? Dia menjawab dengan satu kalimat, yang berhasil membuat mood-ku menurun drastis.
Aku tidak pernah menyangka hari ini akan tiba. Aku tidak pernah mengira hal yang kutakutkan itu akan terjadi. Jawabannya membuatku menangis di stasiun. Menangis seperti orang kehilangan. Sembari menunggu temanku tiba dari Solo, aku hanya bisa menangis. Menangis dan berharap semua itu hanya mimpi. Berkali-kali aku mencubit diriku, dan berkata “bangun Nes, bangun!”.
Kejadian itu membuatku teramat kecewa. Tidak ada yang bisa mengubahnya, aku pun tidak. Toh, aku pun tidak dapat menjadi anak yang baik dan perhatian kepada Papa.
Temanku tiba, kami bertemu. Aku menangis dan tertawa. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan temanku dan liburan ini. Tapi aku juga tidak bisa menahan semua rasa kekecewaan ini. Aku ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya!
Mengapa harus di hari ulang tahunku? Mengapa?
Tak habis aku berpikir, kecewa dan berujung pada menyalahkan diri sendiri. Aku bercerita melalui telepon dan chat kepada 2 orang sahabatku. Mereka memberiku semangat dan menyarankan aku untuk “berlibur” dan tidak memikirkannya sejenak.
Aku mengikuti saran mereka. Tapi sulit. Aku dan temanku berpergian mengunjungi Vihara, tersesat di jalanan Semarang dan juga kami saling bercerita mengenai panggilan hidup masing-masing. Kami saling menguatkan, dan mendoakan.
Namun, ketika tiba di masalah itu, pikiranku menjadi kacau dan kosong. Aku masih marah. Selama 2 hari aku mendapati diriku sedang menangis.
2 hari tersebut menjadi sangat singkat. Hasil foto selama perjalanan menjadi kurang baik karena mataku yang sembab dan sayu akibat banyak tangisan. Aku ingin mencoba untuk bertahan dan menerima. Tapi begitu sulit.
Seluruh teori ini sudah kuhafal matang-matang, aku bahkan beberapa kali memberikan saran kepada teman-temanku jika mereka menemui masalah yang sama. Tapi mengapa segalanya menjadi begitu sulit ketika aku menghadapinya sendiri.
Aku bertanya kepada Tuhan, mengapa hari yang seharusnya menjadi spesial ini, justru menjadi hari paling buruk dalam hidupku? Apakah Tuhan mengasihiku? Mengapa kado ulang tahun dari-Nya seburuk ini?
Aku menangis sepanjang perjalanan kereta balik ke Jakarta. Mataku sembab.
Aku tahu dan percaya bahwa Tuhan mengasihiku dengan sangat sempurna.
Namun, dalam perjalanannya, kasih sayang Tuhan bukan berarti hanya ada “kejadian-kejadian baik” yang terjadi. Kadangkala, aku harus menghadapi awan gelap dalam kehidupanku.
Apa saat itu Tuhan tidak mengasihiku lagi? Tidak, justru Dia sangat mengasihiku, sehingga memberikan “awan gelap” itu agar aku bisa bertumbuh semakin dewasa.
Kiranya aku juga mau belajar, ketika awan gelap datang dalam perjalanan hidup ini, aku mau tetap percaya, berpengharapan pada-Nya dan berkata “Tuhan Yesus baik, ku mengasihi-Mu”
Walau sekarang masih sulit dan berat, aku percaya bahwa Tuhan tidak pernah lepas tangan. Dia mengasihiku dan aku bisa melewati ini semua karena pertolongan-Nya.