Jarum jam menunjukan pukul 1 pagi. Seorang gadis seperempat abad masih gelisah di kasurnya, dan memutuskan untuk membuka laptop. Sambil duduk di pinggir kasur dengan lampu kamar yang gelap, she does not know what to do.
She want to suicide. Beberapa kali dalam 2 minggu akhir ini, dia mencoba untuk membunuh dirinya sendiri. Menelan obat tidur, membawa kendaraan dengan kecepatan tinggi dan lalu menangis. Ada hal yang bergejolak dalam hatinya. “Aku tidak boleh melakukan ini, ini tidak benar. Bagaimana dengan orangtuaku? Bagaimana dengan orang-orang disekitarku? Apa kata mereka?”. Tapi, dia tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.
Menjalani keseharian sebagai sebuah rutinitas. Tertawa bersama rekan-rekan sekantor, mengerjakan kerjaan dengan begitu sempurna. Belajar hal yang baru, dan semua itu dia lakukan seolah-seolah dia sedang baik-baik saja.
Tapi, hatinya berkata lain.
Ada sesuatu yang kosong dalam hati dan pikirannya. Walau setiap hari minggu, dia selalu menangis, mengaku dosa, dan berjanji di gereja, di hari yang sama itu pula dia berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Ada lubang besar dalam hatinya. Sesuatu yang sebenarnya hanya kasih Tuhan yang bisa mengisinya.
——
Aku tersendak lychee tea yang baru kupesan di sebuah kafe di kawasan Jakarta Pusat. Aku tidak pernah menyangka, dibalik senyuman temanku yang begitu cerita, dia menyimpan hal yang begitu menakutkan.
Kutatap matanya yang berurai air mata, lalu kupeluk dirinya, sambil bergumam “everything gonna be okay, dear.” Walau bekerja di sebuah Yayasan rohani, aku tidak sanggup untuk mengatakan hal-hal yang terlihat rohani untuk menguatkannya saat itu. Aku memeluknya erat, dan berbisik “I will be there anytime you need me. I will pray for you”.
Harus kuakui, aku tidak terbiasa melakukan hal seperti ini. Namun, aku tahu benar perasaan temanku ini. Tahun lalu saat menghadapi sebuah masalah, aku sempat pergi ke konselor. Dari sana, aku mengetahui bahwa aku mempunyai sebenarnya kesepian sejak kecil dan menyimpan sebuah “duri” sejak dulu. Bahkan tanpa aku sadari, aku dulu terkadang berpikir aku ingin segera menyusul mama ke Surga. Dan disaat seperti itu, aku merasa tidak punya siapa-siapa dan sangat putus asa. Hingga, aku merasakan pertolongan Tuhan nyata lewat setiap hal yang kualami. Oleh karenanya, aku paham benar pa yang dia rasakan. Hal ini membuat aku merasa seperti sedang berkaca pada Agnes yang dulu.
——
“Aku akan baik-baik saja. Aku ingin meninggalkan jejak yang baik saat aku telah tiada. Aku akan menyibukkan diriku dengan pekerjaan dan mencari uang yang banyak.”, katanya sambil berusaha menghapus air matanya.
——
Aku tidak tahu harus bagaimana untuk menguatkan temanku. Yang aku tahu, aku akan terus berdoa dan berusaha menjadi sahabatnya. Sebelum kami melanjutkan perjalanan kami mengelilingi mall untuk shopping, aku berkata padanya, “Tuhan Yesus mengasihimu melebihi apa pun. Dia rela mati untuk menebus dosa kita. Dan, Dia mengasihi kita apa adanya kita. Hanya kasih-Nya yang bisa mengisi kekosongan ini. It’s okay not to be okay. Kita akan coba perlahan-lahan. Aku mendukungmu.” Dia tersenyum dan aku berharap senyumannya kali ini adalah sebuah harapan, bukan sebuah topeng.
——
Mungkin banyak orang di luar sana yang merasa demikian. Berpikir mengakhiri hidup adalah solusi terbaik. Tapi tidak begitu, sahabatku.
Kamu masih ada di dunia ini untuk sebuah tujuan. Dan kamu tidak akan pernah berjalan sendiri. Tuhan Yesus terus memegang tanganmu dan berjalan bersamamu.
Photo by Ramdan Authentic on Unsplash