Tribute to my dear Friend, cici.
“Lu anak baru itu ya?”, ucap seorang cici (panggilan untuk seorang kakak perempuan dalam budaya Chinese) padaku saat kami pertama bertemu di outing kantor di Bogor.
Kalimat pertamanya itu sontak membuatku terkejut. Culture Shock. Apalagi itu adalah minggu pertama aku pindah dari Surabaya ke Jakarta. Sapaan Lu-gua-lo-gue belum terlalu akrab di telingaku.
“Iya ci. Namaku Agnes”, jawabku sambil tersenyum dan juga takut. Aku bergumam dalam hati “cici ini sepertinya galak banget”. Tapi dia malah menjawabku dengan senyum manis dan memperkenalkan namanya. Aku saat itu berada satu kantor yang sama dengan si cici. Namun, kami berbeda divisi. Pekerjaan kami pun jarang bersinggungan.
Setelah perjumpaan pertama itu, kami dihadapkan dalam sebuah proyek conference tahunan kantor. Semua staf harus menjadi panitia dari acara yang biasanya dihadiri 800-1000 orang tersebut. Di masa persiapan, disaat itulah aku semakin kagum dengan cici. Orangnya tegas, lugas dan aku sangat mengagumi caranya memimpin rapat. Serius tapi fun. Setiap rapat pasti berbuahkan hasil, tidak bertele-tele dan tidak melebar kemana-mana.
Sejak saat itu, aku sangat mengaguminya. Segan tapi hormat padanya. Long story short, setelah 3 tahun aku bekerja, aku dipindahkan ke divisi yang baru. Di divisi yang baru, pekerjaan yang kulakukan semakin intens berhubungan dengan cici. Setiap project yang dilakukan, kami akan saling berdiskusi bersama. Aku dan Ryan yang adalah rekam satu tim, sering sekali berdiskusi dengannya. Saat itu, aku berada di divisi yang lebih fokus ke anak muda.
Walau umur cici terpaut 20 tahun diatas kami, cici selalu memberikan kami sebuah wawasan yang luas. Cara berpikir yang out of the box. Idenya sangat millennial. Saat ada proyek ke luar kota, aku dengan semangatnya datangi ruangan cici dan berkata “Ci, bagi Credit Card. Mau pesan tiket untuk kerjaan kantor.”. “Dapat diskon tiket pesawat gak??”, timpanya dengan tersenyum. “Tenang ci, dapat. Banyak diskon kok.”
Beberapa kali setelah pulang kantor, kami menyempatkan diri makan bersama. Aku menikmati waktu-waktu bersamanya. Dia, cici yang aku segani namun disaat yang sama dia sangat memberikan banyak insight bagiku di masa-masa quarter life crisis.
Pengalaman yang paling tidak terlupakan bagiku adalah disaat kami pergi trip ke Medan bersama. Saat itu ada acara conference di Medan dan diiringi dengan seminar dan presentasi di sekolah-sekolah. Waktu singkat yang hanya seminggu itu, membuat aku semakin mengaguminya. Bagaimana tidak? Semua hal yang dia lakukan mencerminkan ketulusan hatinya melayani Tuhan dan sesama.
Cici, orang yang menunjukan kesetiaannya pada Firman Tuhan melalui setiap aspek hidupnya. Dia orang yang sangat semangat membagikan Injil. Disaat ada di lobi apartemen, ada beberapa orang imigran yang lalu lalang karena tinggal juga di gedung apartemen tersebut. Dia berkata padaku “Nes, kamu ada ide gak gimana kita bisa bagi cerita Kasih pada mereka? Gue mau ajak rekan cowok deh, biar bisa ajak mereka ngobrol.”
“WOW”. itu yang ada di pikiranku saat itu. Aku tidak pernah terlintas pemikiran seperti itu, namun si cici menunjukkannya dengan penuh keseriusan dan semangat. Matanya berbinar-binar saat mengatakannya.
Selain kemampuan memimpinnya yang keren, cici juga sangat berkharisma saat sedang melakukan presentasi. Saat kami ke Medan, aku harus melakukan presentasi di beberapa sekolah. Itu adalah kali pertama aku melakukan presentasi. Aku berkata pada cici, “Ci, cici contohkan satu, nanti aku ikuti di yang berikutnya.” Dengan penuh kharisma, dia naik ke panggung dan presentasi. Dia lalu mengajarkanku beberapa tips dan trik untuk bisa presentasi yang baik.
Selain semua yang sudah kusebut diatas, aku belajar banyak dari cara cici mengurus dan merawat mamanya yang sedang sakit. Dia tidak mengeluh, walau mungkin saat itu berat bagiku. Setiap kali kami bersama, cici selalu berkata “Nes, rawat dan jagain orang tuamu baik-baik. Sama seperti saat mereka merawat kita saat masih kecil.” Tidak hanya itu, dia juga sering membagikan tips bagaimana cara merawat orang tua. Ah, bahkan disaat aku menulis ini, aku masih teringat kalimat dan situasi dimana cici berbicara denganku. Dia juga sangat baik kepada suster yang merawat mamanya. Setiap kami ke tempat makan, dia selalu memesan 1 porsi take away untuk suster di rumah. Cici orang yang sangat tangguh. Dia mampu menunjukan totalitasnya dalam setiap hal yang dia kerjakan. Dia begitu tangguh merawat mamanya yang sedang sakit, disaat yang bersamaan dia tetap melayani Tuhan, membagikan kabar baik dan menginspirasi orang-orang di sekitarnya. Cici. Cici yang punya akun instagram hanya untuk follow akun-akun resmi agar bisa up to date dengan informasi diskon.
Setelah balik dari Medan, Oktober 2019, cici memeriksakan kakinya yang sakit sejak kami berada di Medan. Lalu dilanjutkan dengan melakukan terapi.
Akhir November 2019, saat itu aku dirawat di rumah sakit karena thypus. Kebetulan aku dirawat di rumah sakit yang sama dengan tempat cici melakukan terapi. Cici sempat datang ke kamar rawat dan menjengukku, sambil membawa 2 puding coklat kecil dari Holland Bakery. Kunjungannya yang singkat, tapi memberiku semangat. Dia masuk berjalan dengan kakinya yang masih terbata-bata, membantuku merapikan meja disamping kasur hingga menyuruhku untuk hidup sehat. “Makan sayur Nes. Jangan kebanyakan begadang. Gak usah streessss. Semua pasti bisa berlalu. Gak usah dipikirin mah masalah.”. Cici yang menghiburku bahkan saat dia juga sedang bertarung dengan sakitnya. Bahkan dalam sakitnya, aku belum pernah melihatnya menangis dan mengeluh.“Doa Nes. Serahkan semua ke Tuhan.”, itu pesannya sebelum dia pulang.

Ah, mungkin kalau aku menulis semua kebaikan dan teladannya, berlembar-lembar kertas rasanya tidak cukup. Long story short, desember akhir, cici divonis menderita kanker tulang. Mendengar hal itu, aku terdiam dan bertanya pada Tuhan “Mengapa?”. Ini pertama kalinya orang terdekatku menderita sakit yang terdengar mengerikan itu.
Sebelum libur panjang, kami rekan-rekan sekantor datang ke apartemennya dan memberikan surprise ulang tahun, mendoakan dan menguatkannya.
2019 berlalu. 2020 banyak diisi dengan pandemi yang menimpa hampir seluruh dunia. Disaat itu, aku sudah pindah ke kantor yang baru, dan tidak bisa lagi menjenguknya karena harus melakukan social distancing. Lebih dari itu, ku takut membawa virus.
Hingga 19 September 2020, aku datang sekali lagi disaat mendengar kabarnya yang sedang berjuang dengan stadium akhir. Saat itu, cici sedang kelelahan karena baru selesai “konser berjam-jam” dengan teman-teman lainnya yang datang menjenguk sebelumku.
Cici cuma bilang “sorry” karena tidak bisa berbincang dengan kami (aku dan seorang temanku yang saat itu datang menjenguk). Dan itulah saat terakhir aku melihatnya.
Kamis sore, disaat lagi WFH dan meeting, aku mendengar kabar duka. Cici telah pergi bersama Bapa di Surga. Air mataku tak bisa terbendung. Aku menangis di kamar karena kehilangan seorang cici yang sangat aku segani dan hormati.
Cici sudah gak sakit lagi. Cici sudah bahagia bersama Bapa di Surga. Di semua pesan-pesan yang tersebar di media sosial maupun grup khusus di facebook, banyak yang bersaksi mengenai teladan hidup cici. Aku juga teringat pembicaraanku dengan seorang teman melalui pesan whatsapp. “Sudah kita gak usah menangis lagi. Cici sudah bahagia bersama Bapa di Surga. Dia sudah tidak sakit lagi. Dia mengajarkan kita untuk menjadi wanita tangguh, pemberani dan beriman. Sudah saatnya kita menunjukan hal itu. Tangguh melepasnya pergi dengan sebuah senyuman dan keyakinan kalau suatu saat nanti kita akan bertemu dalam waktu Tuhan di kekekalan nanti.”
25 September 2020, aku melihatnya sekali lagi. Kali ini, dia sedang tertidur cantik di Rumah Duka. Air mataku jatuh, tapi aku tidak sanggup berkata apa-apa. Aku takut mengganggunya yang sedang tidur. Karena kalau cici sedang tidur, dia tidak suka suara berisik. Aku menulis cerita ini disaat aku baru saja selesai mengikuti ibadah penghiburan via daring. Aku menulis ini, untuk mengenang masa-masa hidupnya. Untuk mengingatkanku sekali lagi pada teladan yang dia berikan. Cici, aku ingat cici orang yang sangat mendukung anak-anak muda dalam talentanya. Memberikan pujian dan juga kritik demi kebaikan kami. Baik art maupun tulisan-tulisan artikel. Tulisan singkat ini untukmu, ci.
Well done ci! Terima kasih untuk menunjukan pada kami bagaimana mencintai Tuhan di semua aspek hidupnya. Cici, wanita tangguh yang akan selalu kami kenang. We Love you.Cici, ‘till we meet again.