“Sebuah raksasa gelap dan besar datang dalam mimpiku dan membangunkanku di hilir malam. Aku berpeluh, detak jantung semakin cepat lalu ku menangis. Perlahan. Namun kemudian semakin kencang hingga aku berteriak. Tak lama, aku terdiam dan ketakutan hingga menggigil. Kaki tanganku menjadi dingin. Ku ambil bed cover lalu aku mengurung diri di dalamnya. Aku terjaga hingga mentari menyapa. Sebuah lingkaran mata menggantung namun aku harus tetap ke kantor saat itu. Pandangan kosong menghiasi hariku. Lalu, senja datang…. Dan aku berada lagi dalam sebuah ruangan kecil “my battle room”.
Malamnya, semua pikiran berlalu lalang, padat merayap seperti jalanan ibukota saat rush hour. Tanpa sadar, air mataku menetes. Aku marah, marah ke diri sendiri. Aku menangis dan berlutut di pojokan ruangan sempit kamar kos lantai 2.
‘Aku benci overthinking-ku ini. Aku benci.” ujarku menghardik diri sendiri. Semua negative thoughts itu datang. Lalu hari berganti. Aku menangis dan tertidur dalam genangan air mata.
..
Semuanya berulang. Seperti sebuah pola yang beraturan. Aku tahu kapan perasaan itu akan datang. Namun, aku masih tidak bisa mengontrolnya.”
“Ah, ceritamu lebay.”
“Seperti orang tidak punya Tuhan.”
“Dasar kurang iman. Kurang doa ya kamu?”
Itulah respon orang-orang ketika aku menceritakan pergumulanku yang terjadi malam-malam tersebut. Mereka semua judge aku kurang beriman! Lalu aku bertanya pada diri sendiri, “Apa iya aku kurang iman? Apa kalau aku beriman banyak, aku akan mudah melewati ini atau bahkan tidak perlu menghadapi ini?” Akhirnya aku memakai topeng, tersenyum dan bilang “I’m fine. Itu kayaknya mimpi buruk. Mungkin aku lupa doa malam itu.” Bibirku berujar kalimat yang ingin mereka dengar.
—-
Bukan satu atau 2 orang saja, lebih dari 5 orang melakukan itu padaku. Bahkan ada yang memberikan aku e-book mengenai kembali ke jalan Tuhan disaat aku mengatakan padanya “aku banyak pikiran”. Well, jangan salah diartikan, aku bukan orang yang anti-spiritual ya.
Aku percaya yang bisa menolongku adalah Tuhan dan diriku sendiri. Aku sendiri harus mempunyai keinginan untuk bangkit dan berjalan maju. Masa-masa itu tentunya adalah masa-masa kelam. Masa dimana temanmu tidak percaya ceritamu. Lalu, menjalani hari, seolah semua baik-baik saja. Namun, perasaan tidak bisa ditipu. Pikiran-pikiran itu lalu menggerogoti kesehatan fisikku. Akhirnya tanganku diikat dengan selang infus. Lagi. dan lagi. Semuanya kembali menyalahkanku.
“makanmu gak teratur sih, makanya maag-mu kambuh kan.”
“Kamu makan dimana sih? Tempat jorok ya? Kok bisa kena tipes?”
Senyum simpul menghiasi wajahku dan aku bergumam “Gak kok, aku cuma rindu makanan rumah sakit.”
—-
Waktu berlalu, dan aku akhirnya kabur ke Surabaya di waktu weekend. Sebuah perjalanan singkat. Perjalanan mengobati hati yang terluka. Sebelum kereta malam berangkat kembali ke Jakarta, aku menyempatkan diri untuk bertemu gembala gereja tempat aku berjemaat di Surabaya.
“Kamu tahu gak kenapa di kitab berkata ‘Rahmat Tuhan selalu baru setiap pagi’? Kenapa setiap pagi? Bukan setiap hari? Atau setiap malam?” Gembala-ku bertanya. Aku terdiam berpikir. Kemudian dia melanjutkan “karena Tuhan tahu setiap malam kamu mengalami pertarungan yang hebat dengan dirimu, dengan pikiranmu dan dengan hatimu. Setiap malam. Dan makanya Tuhan bilang, kasih setia-Nya akan selalu baru setiap pagi. Pagi dimana kamu selesai bertarung, dan Tuhan ingatkan kalau Dia tetap ada di sana, menjagamu.”
Air mataku mengalir deras. Pandanganku buram oleh genangan air mata. Obrolan itu terus kuingat dalam perjalanan kembali ke Jakarta.
—
Ini sebuah pertarungan panjang. Bukan sehari dua hari. Sepulangnya, aku tidak langsung membaik sempurna. Perlahan. Dan aku bilang ke diriku sendiri untuk berhenti memproyeksikan sebuah pikiran negatif yang membelenggu dirimu sendiri.
Aku mulai terbuka kepada sahabat-sahabatku. Kali ini, kepada sahabat. Bukan teman. Tanpa berkata apapun, mereka cuma memelukku erat. Atau menatapku dalam diam di sebuah percakapan video call. “Aku akan selalu ada di sini, Nes. Kapanpun, jangan merasa sendiri. Aku tidak tahu kamu melewati hal semacam ini.”
Mereka membawaku kembali. Kehadiran mereka dalam sebuah pelukan dan deep conversation, membuatku menyadari bahwa mereka sangat berharga bagiku. Dan itu karena aku juga berharga. Lebih dari itu, kita berharga karena Tuhan sendiri yang menciptakan dan melindungi kita. Tuhan telah mengirimkan mereka untukku. Tuhan memelukku melalui mereka.
—
Aku tahu, banyak diluar sana yang juga mengalami hal yang sama. Seolah tak ada yang bisa menolongmu dan mengerti permasalahan ini. Tak jarang, berpikir pendek untuk mengakhiri hidup menjadi opsi bagi kalian. Namun, aku cuma mau bilang satu hal kalau “berhentilah dan ampunilah dirimu sendiri”. Akui keberadaan diri kalian yang rapuh. Akui kalau kalian butuh pertolongan. Jangan sakiti dirimu sendiri dengan pikiran–pikiranmu. Selalu ada asa bagimu. Di balik awan gelap, mentari telah siap bersinar lagi. Ada terang yang akan menerangi jalanan gelapmu. Di setiap penghujung mimpi buruk akan ada mentari pagi yang menyapa. Hang in There. Don’t be too hard on yourself. Masih ada harapan.