7 tahun lalu, seorang gadis berumur 17 tahun berjalan meninggalkan rumah, membawa serta koper berisikan baju, dan bertolak menuju Bandara Juanda, Surabaya.
26 Juni 2011, itu adalah hari pertama dia berada di Surabaya, kota yang tidak pernah disangka akan menjadi rumah keduanya.
Satu langkah maju, siap menelusuri kehidupan kuliah. Dari siswi menjadi MAHAsiswi. Dari tinggal bersama orang tua, menjadi anak rantau yang tinggal di kos-kosan!
Hari itu, perasaan bahagia, bangga, excited, juga bercampur haru dan gentar. Bagaimana kalau aku tidak mampu bertahan di sini? Bagaimana jika IP-ku rendah? Bagaimana jika aku menjadi yang paling bodoh di kelas? Semua tanda tanya itu tidak mengurungkan niat dan semangatku untuk tetap melangkah menjadi mahasiswa Universitas swasta ternama di Surabaya. Aku pergi ke Surabaya ditemani tanteku, yang sudah seperti mama sendiri. Setibanya di Surabaya, kami dijemput dan segera menuju daerah kampus dan menempati kos baru saya.
Setibanya di kos, saya harus lagi beradaptasi, dari “sudah tersedia” menjadi “harus menyediakan sendiri”. Berkenalan dengan teman-teman kos, yang kebetulan saat itu juga mahasiswa baru yang ditemani orang tuanya. Hari-hari awal ketika tanteku kembali ke Ambon, aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku ketakutan. Aku tidak terbiasa. Di Ambon, aku tidur sekamar dengan tanteku. Dan ketika merantau, aku merasa takut karena tidur sendirian. Kalau dipikir-pikir lagi, lucu sekali tingkahku dulu itu. Tak jarang juga, aku menangis karena merasa sepi di kos. “Agnes yang memilih sendiri jalan ini, berarti Agnes harus siap jalani, dan yakin Tuhan akan menolong”, begitulah kata-kata tanteku tiap kali aku meneleponnya dengan suara nangis. Aku rindu suasana rumah.
Ketika aku sakit, dan harus mengurusi diri sendiri. Ketika pulang kuliah dan kelelahan, aku berharap ada makanan kesukaanku yang tersaji di meja makan. Ah, masa-masa itu membuat aku senyum-senyum sendiri mengingatnya. haha…
Andai hari itu tidak pernah ada, maka aku yakin, aku juga tidak pernah ada di Jakarta.
Hari itu mengubah semua perjalananku kedepan.
Setiap tanggal 26 Juni, aku selalu mengambil waktu sendiri dan merenungkan kebaikan Tuhan yang terjadi sepanjang aku hidup jauh dari rumah. Tentu banyak hal yang terjadi. Kadang terlalu bahagia hidup merantau hingga lupa rumah dan lupa pulang. Kadang, ada hal buruk yang membuatku ingin menyerah saja dan segera pulang. Semuanya itu mengisi perjalananku selama 7 tahun.
Jika 2011-2015 aku masih ada di Surabaya dengan status sebagai mahasiswi. Sekarang, 2 tahun 9 bulan sudah aku menjadi anak kantoran, anak rantau di Jakarta. Tantangan pun semakin bertambah dan terasa. Aku selalu menyebutnya “sebuah misi yang harus diselesaikan agar naik level, layaknya sebuah game”.
Hari ini, melihat kebelakang, aku hanya bisa bersyukur. Bersyukur untuk apa yang telah Tuhan lakukan. Jika hari ini ada sebagai sebuah momentum aku melihat kembali kebaikan Tuhan, maka aku yakin dan percaya, perjalanan hari-hariku kedepan pun Tuhan akan terus sertai.
7 tahun bukanlah waktu yang mudah bagi si gadis manja seperti aku. Hingga hari ini, aku masih menemukan diriku menangis ketika merindukan rumah, orang dan suasananya. Aku pun menemukan diriku, bukan lagi Agnes di 7 tahun lalu. Banyak yang berubah.
Beradaptasi dengan Kota Jakarta pun seperti sebuah fase baru dalam hidupku. Dari seorang mahasiswa menjadi seorang karyawan kantoran. Dari jam yang “suka-suka” memilih jadwal di Kampus, menjadi rutinitas jam 8 pagi sampai 5 sore. Ah, aku sedang naik level lagi.
Aku bersyukur karena ketika sejak awal aku merantau, Tuhan menganugerahkan padaku teman dan sahabat yang baik dan menolongku semakin bertumbuh mengenal Dia. Walau ada teman yang datang dan hanya ingin menusuk, ada yang datang dengan topeng dan ada yang datang dengan pamrih. Semuanya itu sebuah proses indah di sepanjang 7 tahun ini. Proses yang mengajariku untuk terus bersandar pada Tuhan, karena Dialah sahabat Sejati yang tak akan pernah tinggalkanku di kala duka maupun suka.
Terlebih dari semuanya itu, aku bersyukur karena Tuhan Yesus memberikanku kekuatan bagiku menjalani hari-hari yang sulit. Dia menemaniku berjalan di jalanan rata hingga jalanan berbatu dan berlumpur. Walau begitu sering aku ingin melepas tangan-Nya dan merasa diri mampu berjalan sendiri, tapi Dia tak pernah tinggalkan. Begitu sering aku terjatuh, tapi tak pernah Dia biarkanku tergeletak. Aku bersyukur punya Allah yang hidup. Aku bersyukur untuk providensia Allah dalam hidupku, baik yang aku sadari maupun tidak kusadari.
Hari ini, Selasa, 26 Juni 2018 dan langkahku masih terus berlanjut — entah sampai kapan.
Dan Tuhan Yesus yang menjagaku sejak lahir, menemani fase-fase merantau selama 7 tahun ini, Tuhan yang sama juga yang akan menyertai dan menjagaku detik ini, menit berikutnya, jam selanjutnya, hari esok, bulan yang akan datang, hingga tahun berganti tahun, bahkan sampai Tuhan datang kembali.
Agnes,
26 Juni 2018