
@ RTPTRA Kalijodo
Tepat tanggal 12 Oktober 2017 yang lalu adalah perayaan 2 tahun aku bekerja di Jakarta. Pada tanggal 9 Oktober 2015 malam, aku pindah dari Surabaya ke Jakarta untuk bekerja di sebuah Yayasan Kristen di Jakarta. Tentu, hal ini tak pernah kubayangkan sebelumnya. Sejak berkuliah, tak pernah terlintas sedetik pun aku akan bekerja dan menyambung hidup di Ibukota Indonesia.
Masih terekam dengan jelas kisah 2 tahun lalu, sehari sebelum aku di wisuda, aku dan beberapa rekan seangkatan pergi makan bersama dengan salah satu pembina kerohanian kami di kampus. Di meja makan itu, kami ditanya satu per satu, “setelah ini akan lanjut kemana?”. Jawaban teman-teman yang lain sangat meyakinkan, ada yang akan segera melanjutkan kuliah S2, ada yang sudah mendapat kerja di Bekasi dan di Jakarta, ada pula yang masih menunggu panggilan kerja. Ketika tiba gilliranku menjawab, aku hanya tertunduk dan bilang “Aku tidak jadi pergi ke pedalaman ko. Mungkin bukan waktunya untukku mengabdikan diriku di pedalaman. Sekarang, aku masih belum tahu akan pergi kemana.” Memang, beberapa bulan sebelum aku diwisuda, aku sudah bertekad akan mengabdikan diri menjadi guru di pedalaman Indonesia. Aku sudah dibina dan mengikuti beberapa pengarahan dari gereja yang akan mengutusku kesana. Namun, niat baik tersebut kandas di tengah jalan. Pembinaku pun menawarkan tentang pekerjaan sebagai programmer di Jakarta. “Apa kamu mau pindah ke Jakarta? Ada salah satu yayasan Kristen di sana yang membuka lowongan. Mungkin dengan pindah ke sana, panggilanmu untuk mengabdi di pedalaman bisa semakin jelas.” Saat itu aku hanya mengiyakan dan meminta kontak yang akan dihubungi.
Setelah upacara wisuda, aku tidak sibuk melamar pekerjaan dimana-mana. Aku masih bertanya-tanya kepada Tuhan, apa yang Dia mau lakukan atas hidupku? “Bukankah dengan menjadi misionaris dan mengabdikan diri di pedalaman adalah hal yang mulia? Namun kenapa masih ada pintu yang tertutup untukku kesana?”. Ada satu titik dimana aku benar-benar marah pada Tuhan dan kecewa. Hingga aku tidak tahu harus melangkah kemana.
Bersyukur aku punya sahabat yang selalu mendukung dan mendoakanku. Hingga suatu waktu aku membuka alamat website yang diberikan oleh pembina rohaniku itu dan mencoba memasukan lamaran pekerjaan kesana. “Oke Tuhan, aku ikut! Terserah deh maunya Tuhan. Kalau diterima ya ok, kalau gak, yaudah!”. Aku berkata dalam hatiku sambil menekan tombol “send” di emailku.
Singkat cerita, aku menjalani wawancara via skype dan beberapa minggu kemudian aku dipanggil ke Jakarta dan menjalani interview kedua. Seminggu setelah itu, saya dinyatakan diterima dan akan segera mulai bekerja pada tanggal 12 Oktober 2015. “What?? Secepat itu??”.
Semakin mendekati tanggal 12 oktober. Aku menghubungi teman-temanku satu per satu dan janjian bertemu. Semakin dekat, aku semakin takut. Takut untuk berpisah dengan teman-teman di Surabaya dan juga takut untuk kehidupan baruku di Jakarta. Saat itu aku cuma bergumam dalam hati dan berdoa “Tuhan, udah ya. Aku udah ikut apa yang Engkau mau. Berarti Tuhan akan bimbing aku melewati ini semua.”.
Aku membeli tiket pesawat ke Jakarta. “Semakin mepet ke Jakarta semakin baik”, itu pikirku. Akhirnya aku mengambil jadwal jumat, 9 oktober sore dan tiba di Jakarta di malam hari. Kepergianku ke Bandara ditemani sahabat-sahabatku. Mencoba tersenyum di momen perpisahan itu. Aku mencoba untuk tegar, namun ketika berada di dalam pesawat dan sebelum take off, air mata ini mengalir deras. “Ah Surabaya, terima kasih untuk semua kenangan. Terima kasih sahabat, terima kasih teman. Surabaya selalu ada di hati ini”.

@Bandara Juanda Surabaya. Teman-teman yang mengantar kepergianku ke Jakarta

Perpisahan dengan teman-teman di Surabaya

@Bandara Juanda Surabaya. Teman-teman yang mengantar kepergianku ke Jakarta
Ya, kenangan itu berputar lagi di pikiranku ketika aku melihat fitur “on this day facebook” beberapa hari ini.
Dan kini, 2 tahun sudah aku menjalani hidup di kota metropolitan, ibukota negara, DKI Jakarta. Aku belajar mencintai kota ini dari 0 bahkan dari nilai minus. Belajar move on perlahan-lahan dari Surabaya ke Jakarta. Aku mencoba menyesuaikan diri dan belajar menikmati apa yang disajikan oleh kota ini. Berbagai macam mall, kemacetan, sifat individualis dan masih banyak lagi. Aku bahkan berkeliling-keliling gereja untuk mencari komunitas yang sesuai dan tepat bagiku.
Aku pernah berada di satu titik menyerah. Aku berkata kepada Tuhan: “Udah Tuhan, udah cukup. Aku sudah lelah ada di kota ini, dan aku tak sanggup lagi.” Aku masih ingat dengan jelas saat itu aku sedang mengalami masa-masa down terlebih saat aku belum bisa menemukan komunitas di gereja Jakarta.
Namun kini aku bersyukur, semua proses yang menyakitkan itu mampu mendewasakan aku menjadi Agnes yang sekarang. Ya walau aku belum benar-benar lulus dari ujian kedewasaan, setidaknya semakin hari nilai ujianku semakin naik.
Melalui kota Jakarta, aku belajar banyak. Aku belajar untuk tangguh dan tegar menghadapi setiap tantangan dari orang maupun kondisi. Keadaan dan kehidupan kota ni terlalu keras untuk dijalani dengan kekuatan sendiri. Aku berkali-kali gagal ketika yang kuharapkan adalah kekutan sendiri. Aku pergi berlari kepada manusia, namun hanya kekecewaan yang kutemukan. Kota ini, DKI Jakarta, mengajariku bagaimana bergantung dan berharap hanya kepada Tuhan.
Setiap sudut kota ini mengingatkanku bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Dia selalu ada dan hadir dan terus mendengarkan doa-doa kita. Mungkin ketika kita sedang dalam pergumulan berat, Tuhan seolah-olah diam dan tidak menjawab. Namun saat itu Tuhan justru sedang menyiapkan yang terbaik (bahkan sangat terbaik) untuk kita.
2 tahun merantau di Ibukota bukan dengan tanpa air mata. Selalu ada air mata! Permasalahan dengan sahabat, kejenuhan menikmati kota yang penuh sesak ini bahkan ketika sedang berada pada titik terendah. Namun, air mata itu justru membuatku menjadi Agnes yang tangguh, tegar dan semakin dewasa.
Ketika 2 tahun berada dalam masa-masa up and down, dan melihat bagaimana Tuhan terus menyertai. Maka aku dengan sangat yakin bahwa Tuhan yang sama akan terus menyertaiku di tahun ini, tahun depan, bahkan tahun-tahun mendatang bahkan hingga kekekalan nanti.