Malam itu, aku memutuskan untuk menghabiskan hari sendirian di mall. Aku berangkat bersama teman-teman kantorku setelah jam pulang kantor. Kami berpisah di halte trans Jakarta. Aku menghabiskan ‘me time’-ku dengan berkeliling 3 mall (kebetulan ketiga mall tersebut berdekatan). Aku masuk di setiap toko baju hanya untuk windows shopping. Aku berjalan sendiri, tanpa gadget, berkeliling, mencoba menghibur diriku. Aku mencoba mencari sesuatu yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu apa yang sedang kucari.
Keramaian Natal dirasakan di seluruh mall. Dekorasi Natal yang meriah, salju buatan, pohon Natal yang mengagumkan, lagu-lagu Natal terdengar dan banyak diskon besar-besaran. Bukan, bukan itu yang kulihat, pandanganku terpaku pada keceriaan keluarga-keluarga yang berfoto bersama, mengabadikan momen-momen terbaiknya dengan background dekorasi Natal yang indah di sebuah jembatan yang menghubungkan 2 mall berbeda. Malam itu, semua orang berjalan bersama-sama. Ya, secara harafiah, bersama-sama. Ada yang berdua dengan pasangannya, ada yang beramai-ramai dengan teman-temannya, ada keluarga baru dengan bayi mereka yang masih kecil di dalam kereta bayi, ada keluarga besar yang asyik ber-wefie bersama. Mereka menikmati waktu bersama orang yang mereka cintai. Aku menunduk dan menyadari bahwa aku ada disana, di tengah keramaian itu, sendiri.
Andai aku bisa merasakan waktu-waktu itu disaat Natal tahun ini. Andai….
Tahun ini menjadi tahun terberatku. Setelah tahun lalu menjadi tahun yang penuh tantangan saat menghadapi skripsi, perpisahan dan tantangan di tempat kerja pertama, tahun ini punya cerita tersendiri. Sepanjang 22 tahun dalam hidupku, aku tidak pernah tidak melewatkan Natal bersama dengan keluarga di kampung halaman. Ya, ini Natal keenam aku menjadi seorang perantau. Sejak awal november saat aku memutuskan untuk tidak merayakan Natal di kampung halaman, hari-hari yang ku jalani semakin berat. Keputusan ini karena berbagai pertimbangan. Hati kecilku selalu berkata “pulanglah dan rayakan sukacita Natal itu bersama keluargamu.” Tapi, keadaan menahanku untuk menjalani Natal di kota ini. Apa yang harus ku lakukan saat malam Natal nanti? Aku harus beribadah ke gereja mana? Dengan siapa aku merayakan Natal?
Keluargaku selalu menjalani malam Natal bersama. Pada tanggal 24 Desember jam 11 malam, kami berkumpul, beribadah dan berdoa bersama. Menghabiskan malam Natal dengan penuh tawa dan kebahagiaan. Kami juga selalu merayakan malam pergantian tahun bersama-sama. Tentu saja, itu adalah masa-masa yang indah bisa berkumpul bersama keluarga. Tak jarang, keluarga besarku yang tinggal jauh dari kampung halaman pun kembali merayakan Natal bersama. Natal selalu menjadi momen indah bagi keluargaku.
Namun, tahun ini, aku tidak bersama mereka….
Sejak saat itu, aku mulai memikirkan apa sebenarnya makna Natal. Tentu saja, Natal berbicara tentang kelahiran Kristus ke dunia. Apakah hanya sampai di situ? Disaat mencoba membuat hati semakin tegar aku menemukan makna Natal itu. Saat dimana Yesus lahir di hatimu, Dia diam dan berbicara di hatimu, hatimu dipenuhi dengan sukacita hingga kamu menyadari bahwa tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa mengisi kekosongan itu, selain Yesus sendiri. Selama ini, aku secara pribadi hanya merayakan Natal sebagai sebuah rutinitas atau hanya memanfaatkan waktu liburan Natal-tahun baru saja. Aku kehilangan makna Natal yang sesungguhnya.
Akhir tahun ini juga aku diijinkan Tuhan untuk menghadapi berbagai masalah. Masalah – masalah yang membuat aku sempat berpikir untuk berpaling daripada-Nya. Masa-masa sendiri di kota besar, membuatku putus asa. Pertengkaran dengan sahabat, pergumulan-pergumulan lainnya, membuatku berteriak dalam doaku “untuk apa Engkau datang ke dunia? Jika Engkau datang di hari Natal ini, mengapa Engkau tidak menolongku mengangkat semua beban ini dan menjawab doa-doaku?”. Disaat seperti itu, Tuhan Yesus datang dan berbicara padaku secara pribadi melalui doa dan Firman-Nya. Disaat aku ada di titik paling lemah, Dia menemuiku dan menunjukkan diri-Nya sebagai Allah yang hidup. Allah yang Maha Besar dan Maha Agung itu datang, mengosongkan diri-Nya sendiri, mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2:7-8). Apa yang kualami tidak ada apa-apanya dibanding apa yang telah Dia lakukan bagiku.
Sukacita Natal yang sesungguhnya telah kurasakan, bahkan disaat keadaan terpurukku. Dia Tuhan yang lahir, mati dan bangkit untuk menebus dosa-dosaku. Dia Allah yang tidak pernah meninggalkan umat-Nya.
Tuhan Yesus telah lahir dihatiku, hatiku dipenuhi dengan sukacita.
Aku tahu, Tuhan mengijinkan semua ini terjadi, untuk menyadarkanku agar di momen Natal ini aku dapat menikmati dan memiliki waktu terbaik bersama Yesus. Dialah pemilik hidupku. Keluarga adalah kado yang Tuhan berikan kepadaku. Kumpul bersama keluarga adalah kado Natal yang Dia berikan. Namun, lebih dari itu semua, kado Natal yang terbesar adalah Yesus Kristus sendiri. Dia lahir di hatiku dan untuk itulah aku harus bersukacita, membagikan sukacita itu kepada semua orang.