Cahaya dari bawah Jalanan

Kebahagiaan mereka simple, ketika bisa bermain bersama teman-teman, Ketika ada yang datang, berkenalan dan mungkin membawa hadiah. Ketika mereka bisa bersepeda keliling kampung sederhana mereka dan banyak hal lagi yang sering dilakukan mereka, semua dengan tawa dan bahagia.
Walau kadang saling kejar-kejaran dan pukul-pukulan, mereka tetap bahagia, ga berlarut dan kembali berpelukan. Hidup yang sebenarnya banyak beban tapi terus mereka jalani hingga seolah-olah tak ada lagi beban itu.
Mungkinkah mereka mendengar sebuah Kabar Baik yang membuat sukacita kekal? Mungkinkah mereka mendengarnya? Mungkinkah ada yang memberitakannya?

Hiruk pikuk kota Jakarta membuat kota ini begitu padat. Setiap orang berkejar-kejaran dengan waktu, seakan mereka tak ingin menyiakan sedetik pun waktu yang tersisa. Orang sering bilang, hidup di Ibukota itu keras. Rutinitas yang membuat terkadang kita berjalan seperti patung hidup, melakukan sesuatu hingga hampir kehilangan makna.
Gedung yang tinggi mungkin menjadi ciri khas di kota ini. tapi, adakah yang tersadar bahwa masih ada kehidupan di bawah jalanan tol dan di bawah kolong jembatan?

Suatu sore, saya dan beberapa teman berkunjung di bawah kolong jalanan tol …… Kami melihat tempat ini dan berencana ingin mengadakan kegiatan kebersamaan natal. Hal yang terlintas dalam benak saya pertama kali melihat ‘kampung’ itu ialah: masihkah ada daerah seperti ini di tengah ‘megah’nya Jakarta?

Hidup mereka berada di ‘jalanan’. Menggantungkan tidur malamnya, di bawah beton jalanan tol. Katanya, jika ada truk besar yang melewatinya, ‘tempat tidur’ mereka bergetar. Dinding  mereka ialah tembok pembatas kali yang penuh dengan limbah masyarakat. Mereka kadang harus menunduk agar bisa ‘masuk’ di ‘lorong’ / ‘pintu’ rumah mereka. Tripleks membantu melindungi mereka dari dinginnya malam. Seolah-olah, mereka tidak pernah takut dengan dinginnya malam.

image

Ketika pagi datang, mentari hanya sedikit menampakan wajahnya untuk mereka karena tembok jalanan yang ‘egois’ menghalanginya. Mereka harus bekerja kembali agar bisa melanjutkan hidup. Anak-anak disitu sudah harus bergegas menuntut ilmu.
Senja menjelang, dan ritme hidup di ‘kampung’ itu berputar kembali.
Anak-anak yang tak pernah mengenal siapa ibu atau ayahnya. Mereka yang mungkin tidak pernah tahu, bagaimana macetnya Jakarta ketika naik mobil. tapi, mereka terus menjalani ritme hidup mereka dengan ‘su-ka-ci-ta’

image

Saya bersama beberapa anak

ketika melihat hal itu, dapatkah kita mendapati diri kita semakin bersyukur? dapatkah kita mendapati diri yang akan lebih sering berlutut untuk mendoakan mereka? Kehidupan mereka seharusnya mengajarkan kita banyak hal. Mungkin kita, tidak bisa berusaha memberikan ‘rumah’ baru yang layak bagi mereka, tapi kita bisa mendoakannya untuk Tuhan. mungkin kita tidak bisa menolong mereka untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak, tapi kita bisa mendoakannya untuk Tuhan. Mungkinkah mereka mendengar sebuah Kabar Baik yang membuat sukacita kekal? Mungkinkah mereka mendengarnya? Mungkinkah ada yang memberitakannya? Itu dimulai dengan doa dan tekad untuk melangkah dan memberitakannya.
Semoga proyek 12-12 (12 Desember 2015) nanti akan menjadi langkah kecil, kami menolong mereka untuk mendengar kabar sukacita tersebut.

Jakarta, 22 Oktober 2015

One thought on “Cahaya dari bawah Jalanan

  1. Pingback: Hingga tiba kesudahannya | Journey of Life

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s