Ini bukan sekadar perjalanan mengisi waktu libur, tapi ini tentang sebuah cerita. Cerita tentang harapan dari tanah Borneo. Harapan akan kehidupan yang lebih baik, harapan akan masa depan yang lebih cerah.
Masih dari tanah Borneo. Kini kami berada di desa Pangkalan Kongsi. Ya, kira – kira 45 menit dari desa Tebas.
Kami tiba di Pangkalan Kongsi kurang lebih pukul 8 malam. Ya, dan di saat itu juga, bibir ini tak henti – hentinya mengagumkan Tuhan, Sang Pencipta langit dan bumi. Dalam perjalanan, kunang – kunang menjadi teman kami, dan ribuan bintang menjaga kami dari atas langit. Bintang – bintang yang tak pernah ku temukan, ketika aku ada di Surabaya. Seorang naturalis sepertiku tak henti-hentinya memandang ke langit dan sekitar, serta bergumam “Tuhan, Kau begitu indah, Kau begitu besar, Kau dahsyat, Tuhan”.
***
Minggu pagi. Waktunya kami melayani di gereja. Saat itu, sebelum kebaktian umum, kami melayani di sekolah minggu terlebih dahulu. Awal yang kurang baik. Kami kurang persiapan dan menjadikan pelayanan pagi itu tidak terlalu maksimal. Setelah itu, dilanjutkan dengan Kebaktian umum. Saya mendapat tugas sebagai worship leader. Begitu senang menjalankan tugas tersebut, walaupun tersimpan rasa ketakutan, karena saya tidak terlalu mahir menjadi seorang pemimpin pujian. Pujian yang dibawakan pagi ini, bercampur, ada yang dari lagu hymn dan ada juga yang dari lagu – lagu kontemporer.
Pagi itu, saya memilih sebuah lagu “Ku Mau Cinta Yesus”. Lagu itu secara pribadi merupakan lagu kesukaan dan refleksi saya. Meskipun badai silih berganti dalam hidupku, ku tetap cinta Yesus selamanya. Lantunan musik dan rangkaian kata yang begitu indah. Ketika saya memimpin pujian tersebut, jemaat turut menyanyikannya dengan begitu syahdu. Ada jemaat yang mengangkat tangan dan menangis. Di saat itu juga, air mata saya jatuh, dan bergumuman dalam hati “Tuhan, Tuhan begitu baik. Dulu ku pikir Tuhan hanya baik untuk orang – orang di kota, orang – orang yang terlihat hidup mewah. Tapi, tidak Tuhan. Kau baik bagi semua makhluk, bahkan di tanah ini, di tanah Kalimantan ini”.
Gereja tempat kami melayani di sana, saat ini tidak memiliki gembala tetap atau seorang pendeta jemaat. Padahal gereja ini, di Pulau Jawa termasuk salah satu gereja yang cukup besar. Teringat dan berefleksi bahwa di kota besar seperti di Surabaya atau di Jakarta, sangat berlimpah Hamba Tuhan / Pendeta, bahkan sampai terjadi konflik, dan memecahkan gereja. Mirisnya, di tempat ini malah tidak ada seorang pendeta jemaat. Ah Tuhan, Kau pasti tau yang terbaik bagi umatMu.
***
Tepat jam 5 pagi di hari Senin, kami tim telah bangun dan memulai aktivitas kami dengan doa bersama, dan makan pagi. Sebentar lagi kami akan mengajar di SDN No. 31, Pangkalan Kongsi. Sekolah ini, harus kami tempuh dengan menaiki perahu kurang lebih 3 menit. Singkat cerita, kami tiba di sekolah pagi itu. Banyak sekali anak – anak yang telah berkumpul dan itu menjadi suntikan semangat bagi kami. Mereka berlarian, bermain dan ada juga yang duduk tenang di pojokan kelas.
Pelajaran dimulai. Tim kami di bagi 3 orang per 2 kelas. Saya dan 2 orang teman saya, Elizabeth dan Andreas, mendapat tugas mengajar TK sampai kelas 2. Saya sangat excited pagi itu. Kami berkenalan, belajar dan bermain bersama. Terlukis senyum bahagia di wajah mereka. Ah andai aku bisa melakukan ini terus di sisa waktu hidupku.
Pembelajaran di sekolah selama seminggu sangat menyenangkan. Walau kadang kami kehabisan ide untuk menenangkan mereka agar tidak nakal dan berlarian keluar kelas. Tapi ada sesuatu yang mengganjal saat itu.
Kelas kami ada di pojok dekat dengan WC sekolah. Di belakang kelas kami, banyak anak SMP (seharusnya mereka SMP jika tidak putus sekolah) yang nongkrong di sana. Bukan hanya nongkrong, di tangan mereka memegang sepuntung rokok dan mereka asyik menghirupnya. Ah acuhkan saja mereka. pikirku. Ya, saat itu tim mengacuhkan mereka, tapi ada seseorang juga yang menegurnya. Tidak sampai disitu, ku berpikir, pembelajaran di kelas tetap bisa berlangsung dengan baik walau dengan kelakuan kakak kelasnya itu di belakang sekolah. Namun kenyataannya tidak begitu.
Ketika saya, Elizabeth dan Andreas tengah asyik mengajar. Saat itu saya berdiri di depan kelas untuk memberi contoh pelajaran di papan tulis. Seorang anak SMP tadi, berdiri di pintu dan melihat ke arah kami. Saya menengok singkat dan melanjutkan lagi kegiatan saya. Tiba – tiba,
si anak itu melempar bungkusan sisa rokoknya tadi ke arah saya (tepat berhenti di samping kaki saya) dan dia berlari pergi. Serempak, semua anak TK – kelas 2 yang ada di ruangan memperhatikan kejadian itu. Saya terdiam sejenak, dan menangkat bungkus rokok itu ke tempat sampah. Saya tidak memilih untuk mengejar di anak itu.
Jiwaku menangis melihat tingkah si anak itu. Apakah anak itu sedang mencari perhatian? Atau si anak itu tidak bisa sopan? Lagi dan lagi air mata saya menetes kembali. Di tengah bangganya negara ini akan sistem pendidikannya, syarat-syarat kelulusan yang berganti – ganti, banyak aturan tentang ujian nasional, dan lain sebagainya, namun, kenyataan bahwa masih banyak anak di pelosok Indonesia belum bisa mendapatkannya. Bahkan mereka pun kehilangan sekolah moral yang seharusnya di berikan oleh orang tua mereka. Putus sekolah, kerusakan moral, pergaulan bebas, semua lebih tren daripada menuntut pendidikan hingga tinggi. Ah…Indonesiaku. Berhentilah berfokus pada pendidikan di perkotaan saja. Hm… ini masih tentang moral dan mentalitas anak bangsa. Belum lagi mengenai sarana dan prasarana. Ah, Indonesiaku. Padamu seharusnya aku mengabdikan ilmuku. Mencerdaskan anak bangsa, yang jadi tugas setiap kita, bukan saja untuk pendidik. Jangan sampai negeri lain menjajah bangsa ini lagi, dan menggiurkan kami dengan uang. Bawa kami kembali pada Indonesia Jaya.
Baca cerita sebelumnya Harapan dari Borneo
Pingback: Harapan dari Borneo | Colorful Life of Mine